Kamis, 25 Agustus 2016

Lampu Merah Pagi Tadi


lagi...hujan sepertinya terlalu cepat menyapa tahun ini, atau memang efek global warming yang membuat ‘perkiraan cuaca hanya sekadar prakiraan’ hingga kedatangannya tidak bisa diprediksi. Pagi hujan, siang sudah terik lagi, atau di suatu tempat hujan, ditempat lain malah adem ayem padahal hanya berjarak 200 meter saja. 

Tapi pagi ini alam seakan kompak untuk membuat kelabu seluruh kota Banda Aceh, hujan tidak berhenti dari tadi malam, dan aku harus bangun pagi – pagi untuk bersiap ke Rumah Sakit lagi, sudah 3 bulan menjalani rutinitas baru sebagai Dokter Muda demi mendapat dua huruf di depan namaku. Hari ini bukan ke RSUDZA tempatku biasa belajar, tapi ke rumah sakit jejaring RSUD Meuraxa, demi belajar bagaimana menolong persalinan normal yang sudah jarang aku jumpai di RSUDZA, maklum RSUDZA sudah menjadi rumah sakit rujukan nomor wahid di Aceh, kasus – kasusnya sudah complicated, kebanyakan bukan ranah dokter umum lagi.

Subuh yang dingin, membuatku enggan membuka mata dan semakin merapatkan selimut, waktu yang nyaman untuk kembali ke alam mimpi, padahal aku harus bersiap segera. Dengan terpaksa aku menyeret kaki ke kamar mandi, bersiap – siap dan langsung pergi, menunggu temanku menjemput di simpang BPKP untuk pergi bersama alias aku menumpang dengan temanku. Yah sampai sekarang aku masih harus merepotkan orang lain karena ketidakberanianku mengendarai sepeda motor.

Hujan sepertinya tak akan berhenti, jam sudah menunjukkan pukul 07.30 wib, dan butuh 30 menit untuk sampai ke Meuraxa. Akhirnya dengan semangat yang disemangat – semangati aku menerobos jutaan rintik hujan demi sampai di simpang BPKP, butuh 10 menit untuk sampai kesana, takut telat sampai ke Meuraxa, sambil berpikir bagaimana jika ada pasien yang tiba – tiba ingin melahirkan, kan ga bisa ditunda bayi yang sudah tidak sabar ingin menatap dunia sandiwara ini. Akhirnya dengan setengah kuyup aku sampai di simpang itu, , menunggu temanku yang tak kunjung datang. Sudah ku sms, tak ada respon. Sambil miniup ujung jilbab coklatku yang enggan tegak lagi karena terlanjur basah, aku terus menghubungi temanku yang entah dimana OTW nya.

Aah bagaimana ini, tidak akan terkejar sampai ke sana pukul 08.00. berkali – kali aku menghubungi temanku, akhirnya di membalas sms, ternyata dia baru siap mandi. Aku semakin jengkel, sudah berdiri setengah jam, kedinginan karena bajuku sudah basah. Terus menghakimi diri sendiri dan berandai - andai, ‘seandainya tidak hujan, seandainya tidak kena tugas di Meuraxa, seandainya bisa bawa motor sendiri, seandainya ada yang bersedia mengantar dan menjemput” uppps….

Sambil terus menunggu, aku akhirnya memutuskan berdamai dengan keadaan, tidak ada gunanya marah, hanya membuat hati semakin sesak. Aku berdoa semoga dedek bayi masih betah tidur nyaman dalam rahim ibunya.

Aku memperhatikan keadaan pagi itu sambil terus meniup – niup ujung jilbabku. Pagi yang amat sibuk, meski hujan jalan – jalan tetap dipenuhi dengan kendaraan, mobil – mobil, dan pengguna sepeda motor lengkap dengan jas hujannya, berlomba bersama hujan agar cepat sampai ke tempat tujuan. Suara klakson disana sini, cipratan air, lampu hijau yang hanya sebentar, teriakan – teriakan “woooy jalan, tiiitt….titttt..tiiiit” hiruk pikuk yang paling aku benci. 

Namun ada satu hal menarik di lampu merah simpang BPKP itu. Seorang bapak, ku perkirakan usianya 40 tahun, tidak terlalu jelas juga. Dengan menggunakan jas hujan lengkap dengan kantong kresek di kepalanya, ia berdiri di tengah – tengah jalan, sambil membawa Koran yang sudah ia bungkus dengan plastik. Luwes sekali gerakannya, seperti seorang penari professional, seakan ia berdansa bersama koran – korannya di tengah derasnya hujan dan jalan raya sebagai panggungnya, menawarkan Koran ke setiap pengguna jalan, sesekali menyeka wajahnya yang telah penuh dengan air. Tapi siapa pula yang ingin membeli Koran di hari hujan begini, meski begitu ia tetap tersenyum, sambil mengangkat korannya, menawarkan korannya dari satu mobil ke mobil yang lain, dari banyaknya pengguna jalan itu tidak ada yang membeli sampai lampu hijau menyala. Bapak loper Koran itu kembali menepi, menunggu lampu merah berikutnya. Sambil memperbaiki kantong kresek di kepalanya dan memastikan agar koran – korannya tidak basah. Salut sekali dengan semangatnya, sepagi itu, hujan yang seakan berlomba membasahi bumi, , ia tetap menjalani tugasnya untuk mencari rezeki, walaupun Koran itu tidak laku, aku yakin dari rona wajahnya menunjukkan ia tetap bahagia.
Aaah sekali lagi, bahagia itu memang teramat sederhana. Kuncinya hanya bagaimana kita memandang dan menyikapi takdir yang berlaku. Jadi teringat perkataan salah seorang sahabat Rasulullah, “Jika engkau bersabar, takdir akan berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan pahala. Jika engkau berkeluh kesah, takdir juga akan berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan dosa”

Kembali lagi mencermini diri sendiri, tidak ada gunanya untuk menghardik ketentuanNya yang telah tertulis indah di Lauh Mahfudz sana, memang belajar harus seperti ini, yang namanya perjuangan mana ada yang enak – enak saja, pengorbanan, jatuh – bangun, terpuruk, tersindir, tangisan adalah bumbu – bumbu yang akan melengkapi kehidupan seorang manusia, seperti loper koran tadi, walaupun tidak ada satupun korannya yang laku, tapi paling tidak ia telah berusaha, jalan rezeki itu bukan hanya datang dari satu arah. Dan yang paling penting bagaimana cara kita menerima segala ketentuanNya.

Tiiiiiiiiiiitttttttt!!! Suara klason panjang memecahkan lamunanku, ternyata temanku sudah datang, sambil memasang senyum terbaiknya. “maaf ya ka, aku telaaat bangun, tapi tenang belum ada pasien kok disana”.
Alhamdulillah, yuuk cuss…

*Tuliskan semua keinginanmu dengan pensil, dan serahkan ‘penghapusnya’ pada Allah, biar Allah saja yang memilih mana yang terbaik untukmu dari semua yang kau ingini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar