lagi...hujan sepertinya terlalu cepat
menyapa tahun ini, atau memang efek global warming yang membuat
‘perkiraan cuaca hanya sekadar prakiraan’ hingga kedatangannya tidak
bisa diprediksi. Pagi hujan, siang sudah terik lagi, atau di suatu
tempat hujan, ditempat lain malah adem ayem padahal hanya berjarak 200
meter saja.
Tapi pagi ini alam seakan kompak untuk membuat
kelabu seluruh kota Banda Aceh, hujan tidak berhenti dari tadi malam,
dan aku harus bangun pagi – pagi untuk bersiap ke Rumah Sakit lagi,
sudah 3 bulan menjalani rutinitas baru sebagai Dokter Muda demi mendapat
dua huruf di depan namaku. Hari ini bukan ke RSUDZA tempatku biasa
belajar, tapi ke rumah sakit jejaring RSUD Meuraxa, demi belajar
bagaimana menolong persalinan normal yang sudah jarang aku jumpai di
RSUDZA, maklum RSUDZA sudah menjadi rumah sakit rujukan nomor wahid di
Aceh, kasus – kasusnya sudah complicated, kebanyakan bukan ranah dokter
umum lagi.
Subuh yang dingin, membuatku enggan membuka mata dan
semakin merapatkan selimut, waktu yang nyaman untuk kembali ke alam
mimpi, padahal aku harus bersiap segera. Dengan terpaksa aku menyeret
kaki ke kamar mandi, bersiap – siap dan langsung pergi, menunggu temanku
menjemput di simpang BPKP untuk pergi bersama alias aku menumpang
dengan temanku. Yah sampai sekarang aku masih harus merepotkan orang
lain karena ketidakberanianku mengendarai sepeda motor.
Hujan
sepertinya tak akan berhenti, jam sudah menunjukkan pukul 07.30 wib, dan
butuh 30 menit untuk sampai ke Meuraxa. Akhirnya dengan semangat yang
disemangat – semangati aku menerobos jutaan rintik hujan demi sampai di
simpang BPKP, butuh 10 menit untuk sampai kesana, takut telat sampai ke
Meuraxa, sambil berpikir bagaimana jika ada pasien yang tiba – tiba
ingin melahirkan, kan ga bisa ditunda bayi yang sudah tidak sabar ingin
menatap dunia sandiwara ini. Akhirnya dengan setengah kuyup aku sampai
di simpang itu, , menunggu temanku yang tak kunjung datang. Sudah ku
sms, tak ada respon. Sambil miniup ujung jilbab coklatku yang enggan
tegak lagi karena terlanjur basah, aku terus menghubungi temanku yang
entah dimana OTW nya.
Aah bagaimana ini, tidak akan terkejar
sampai ke sana pukul 08.00. berkali – kali aku menghubungi temanku,
akhirnya di membalas sms, ternyata dia baru siap mandi. Aku semakin
jengkel, sudah berdiri setengah jam, kedinginan karena bajuku sudah
basah. Terus menghakimi diri sendiri dan berandai - andai, ‘seandainya
tidak hujan, seandainya tidak kena tugas di Meuraxa, seandainya bisa
bawa motor sendiri, seandainya ada yang bersedia mengantar dan
menjemput” uppps….
Sambil terus menunggu, aku akhirnya memutuskan
berdamai dengan keadaan, tidak ada gunanya marah, hanya membuat hati
semakin sesak. Aku berdoa semoga dedek bayi masih betah tidur nyaman
dalam rahim ibunya.
Aku memperhatikan keadaan pagi itu sambil terus meniup – niup ujung jilbabku. Pagi yang amat sibuk, meski hujan jalan – jalan tetap dipenuhi dengan kendaraan, mobil – mobil, dan pengguna sepeda motor lengkap dengan jas hujannya, berlomba bersama hujan agar cepat sampai ke tempat tujuan. Suara klakson disana sini, cipratan air, lampu hijau yang hanya sebentar, teriakan – teriakan “woooy jalan, tiiitt….titttt..tiiiit” hiruk pikuk yang paling aku benci.
Namun
ada satu hal menarik di lampu merah simpang BPKP itu. Seorang bapak, ku
perkirakan usianya 40 tahun, tidak terlalu jelas juga. Dengan
menggunakan jas hujan lengkap dengan kantong kresek di kepalanya, ia
berdiri di tengah – tengah jalan, sambil membawa Koran yang sudah ia
bungkus dengan plastik. Luwes sekali gerakannya, seperti seorang penari
professional, seakan ia berdansa bersama koran – korannya di tengah
derasnya hujan dan jalan raya sebagai panggungnya, menawarkan Koran ke
setiap pengguna jalan, sesekali menyeka wajahnya yang telah penuh dengan
air. Tapi siapa pula yang ingin membeli Koran di hari hujan begini,
meski begitu ia tetap tersenyum, sambil mengangkat korannya, menawarkan
korannya dari satu mobil ke mobil yang lain, dari banyaknya pengguna
jalan itu tidak ada yang membeli sampai lampu hijau menyala. Bapak loper
Koran itu kembali menepi, menunggu lampu merah berikutnya. Sambil
memperbaiki kantong kresek di kepalanya dan memastikan agar koran –
korannya tidak basah. Salut sekali dengan semangatnya, sepagi itu, hujan
yang seakan berlomba membasahi bumi, , ia tetap menjalani tugasnya
untuk mencari rezeki, walaupun Koran itu tidak laku, aku yakin dari rona
wajahnya menunjukkan ia tetap bahagia.
Aaah sekali lagi,
bahagia itu memang teramat sederhana. Kuncinya hanya bagaimana kita
memandang dan menyikapi takdir yang berlaku. Jadi teringat perkataan
salah seorang sahabat Rasulullah, “Jika engkau bersabar, takdir akan
berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan pahala. Jika engkau berkeluh
kesah, takdir juga akan berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan dosa”
Kembali lagi mencermini diri sendiri, tidak ada gunanya untuk
menghardik ketentuanNya yang telah tertulis indah di Lauh Mahfudz sana,
memang belajar harus seperti ini, yang namanya perjuangan mana ada yang
enak – enak saja, pengorbanan, jatuh – bangun, terpuruk, tersindir,
tangisan adalah bumbu – bumbu yang akan melengkapi kehidupan seorang
manusia, seperti loper koran tadi, walaupun tidak ada satupun korannya
yang laku, tapi paling tidak ia telah berusaha, jalan rezeki itu bukan
hanya datang dari satu arah. Dan yang paling penting bagaimana cara kita
menerima segala ketentuanNya.
Tiiiiiiiiiiitttttttt!!! Suara
klason panjang memecahkan lamunanku, ternyata temanku sudah datang,
sambil memasang senyum terbaiknya. “maaf ya ka, aku telaaat bangun, tapi
tenang belum ada pasien kok disana”.
Alhamdulillah, yuuk cuss…
Alhamdulillah, yuuk cuss…
*Tuliskan semua keinginanmu dengan pensil, dan serahkan ‘penghapusnya’
pada Allah, biar Allah saja yang memilih mana yang terbaik untukmu dari
semua yang kau ingini.